Berbeda dengan Islam, kebebasan adalah sebuah konsep yang tidak
jelas ke mana manusia mau dibawa.
“Hendaklah kamu beramar makruf nahi mungkar. Kalau tidak, maka Allah akan menguasakan atasmu orang-orang yang paling jahat di antara kamu, kemudian orang-orang baik di antara kamu berdoa, Allah tidak mengabulkan.”(HR Al-Bazaar)
“Hendaklah kamu beramar makruf nahi mungkar. Kalau tidak, maka Allah akan menguasakan atasmu orang-orang yang paling jahat di antara kamu, kemudian orang-orang baik di antara kamu berdoa, Allah tidak mengabulkan.”(HR Al-Bazaar)
Salah
satu konsep utama yang membedakan Islam dengan Barat, adalah konsep amar
ma’ruf nahi munkar. Al-Qur’an telah menyebut istilah ini dalam
berbagai ayat dengan kalimat yang sama ‘amar makruf nahi mungkar’. Dan
Al-Qur’an hanya menyuruh umat Islam melaksanakan amar makruf nahi mungkar,
tidak disuruh melaksanakan amar makruf nahi makruf, amar mungkar nahi makruf
atau amar mungkar nahi mungkar. Perilaku orang yang bekerjasama dalam
kemungkaran – “ya’muruuna bilmungkar wayanhauna anil ma’ruf” (QS.
at Taubah 67), disebut Al-Qur’an sebagai perilaku orang-orang munafik.
Sedangkan Barat tidak jelas konsep amar makruf nahi
mungkar-nya. Kadang-kadang mereka amar makruf, kadang-kadang
mereka amar mungkar. Kadang-kadang mereka nahi mungkar,
kadang-kadang mereka nahi makruf. Karena mereka sendiri tidak
mempunyai definisi yang jelas tentang makruf dan definisi yang jelas tentang
mungkar.
Dalam Islam yang disebut makruf adalah hal-hal
yang sesuai atau tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan as-Sunnah, sedangkan
yang disebut mungkar adalah hal-hal yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan
as-Sunnah. Karena itu kita dapati seluruh ormas atau gerakan Islam, menjadikan
amar makruf nahi mungkar sebagai dasar atau asas dakwah mereka.
Dalam Al Qur’an disebutkan bahwa amar makruf nahi mungkar adalah
tugas individu, kelompok (jamaah) dan negara. Bahkan Al-Qur’an mensyaratkan
agar seorang individu, masyarakat atau bangsa mencapai kejayaan, maka ia mesti
melaksanakan amar makruf nahi mungkar.
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang
mungkar, dan beriman kepada Allah.” (Ali Imran : 110)
Makruf secara makna bahasa (Arab) artinya dikenal atau
diketahui. Berasal dari kata dari arafa, ya’rifu, irfaanan -ma’ruufan.
Yang menarik arufa (thaaba riihuhu), artinya harum baunya.
Jadi hal yang makruf itu sebenarnya dikenali secara fitrah oleh manusia
–kecuali manusia yang membutakan fitrahnya. Seperti perintah Islam untuk jujur,
rajin, kerja keras, hemat, sedekah, beribadah dll, adalah dikenali manusia
sebagai hal yang baik. Dan mungkar adalah lawan dari makruf, dimana fitrah
manusia cenderung mengingkarinya, seperti zina, mencuri, riba (memiskinkan
masyarakat), bohong dan lain-lain.
Sedangkan mungkar secara bahasa artinya hal yang tidak dikenali
atau hal yang diingkari. Nakural amru artinya sha‘uba
wasytadda, hal yang sulit atau susah. Jadi hal mungkar itu, sebenarnya
susah untuk dikerjakan manusia dan juga bisa dimaknakan, orang yang mengerjakan
kemungkaran, akan mengalami kesusahan di dunia atau di akhirat.
Dalam Islam, tidak ada perubahan konsep amar makruf nahi
mungkar oleh waktu dan tempat (kondisi geografis). Masyarakat di zaman
Rasulullah yang masih sederhana struktur sosial dan teknologinya, zina
diharamkan. Dalam masyarakat yang modern saat ini, di mana industri dan
pabrik-pabrik bertebaran, teknologi digital visual di mana-mana, laki-laki dan
perempuan banyak yang bekerja, zina tetap haram.
Lain dengan Barat. Bila kita belajar ilmu sosiologi, maka
perubahan masyarakat dari pertanian ke industri misalnya, memaksa hubungan
sosial laki-laki perempuan mengalami pergeseran. Dan dianggap budaya
dansa-dansi, pesta laki-laki perempuan anak-anak muda biasa saja, dan
ujung-jungnya zina bukan suatu hal yang haram.
Karena itu di Barat, hubungan seksual dianggap hubungan biologis
semata. Tidak ada halal-haram di situ.
Meskipun ada kalangan Kristen Konservatif yang mengharamkan
perzinaan, tapi mereka tidak serius melarang masyarakatnya berzina. Misalnya,
meskipun ada di antara warganya yang tidak setuju perzinaan, aborsi, lesbian
atau lainnya, tapi pemerintah Amerika tidak serius melarangnya. Mereka tidak
membuat peraturan yang melarang perzinaan. Membiarkan, bila tidak dikatakan
menfasilitasi film-film porno (ingat tahun 90’an kasus “perizinan jaringan
bioskop 21 vs ekspor tekstil Indonesia”), setengah porno dibuat dan diedarkan
di seluruh dunia. Mereka tidak bisa melarang film-film perzinaan, kebohongan,
pencurian minyak ke negara lain, dan lain-lain, karena landasan negara dan
masyarakatnya bukan amar makruf nahi mungkar tapi kebebasan (freedom).
Kebebasan adalah sebuah konsep yang tidak jelas ke mana manusia
mau dibawa. Karena seringkali kebebasan itu merusak, bukan memperbaiki manusia.
Seorang yang melakukan hubungan seksual sebebas-bebasnya, orang yang bebas
minum dan makan apa saja, orang yang berpakaian seenak nafsunya, maka yang
terjadi pada orang itu adalah kerusakan.
Kita lihat misalnya, beberapa film Barat bagus tentang
persekongkolan politik, pembunuhan dan lain-lain, tapi seringkali di film itu
diselipkan dengan aktivitas-aktivitas yang mungkar (pemainnya berzina,
berselingkuh dan lain-lain). Karena sutradara atau pemainnya tidak memiliki
konsep amar makruf nahi mungkar untuk film, yang mereka miliki adalah ideologi
uang atau kebebasan.
“Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, satu dengan yang
lain adalah (sama), mereka menyuruh (berbuat) yang mungkar dan mencegah
(perbuatan) yang makruf dan mereka menggenggamkan tangannya (kikir). Mereka
telah melupakan kepada Allah, maka Allah melupakan mereka (pula). Sesungguhnya
orang-orang munafik itulah orang-orang yang fasik.” (at-Taubah : 67)
Konsep kebebasan adalah konsep yang absurd. Tidak ada kebebasan
yang mutlak pada manusia. Maka, di sini Islam melandasi pembangunan masyarakat
dengan amar makruf nahi mungkar bukan kebebasan. Kebebasan manusia dibingkai
oleh Islam dalam makruf dan mungkar. Sebagaimana indra kita, mata, telinga, dan
lain-lain, kita tidak bisa liarkan. Kita membatasi fungsi indra kita pada
hal-hal yang bermanfaat yang tidak bertentangan dengan Islam. Bila sebuah
aktivitas disebut makruf, manusia bebas disitu untuk berkreasi dan bila sebuah
kegiatan disebut mungkar, maka manusia harus berhenti dan berusaha mencegahnya
sekuat mungkin.
Oleh: Nuim Hidayat*
Posting Komentar