BREAKING NEWS

TENTANG TAHUN YANG BARU


Waktu yang ada teruslah bergulir. Detik demi detiknya terus berjalan. Menit demi menitnya juga saling berkejaran. Jam, hari, minggu, dan bulan tak kalah untuk terus berjalan pula. Bergulirnya waktu adalah sebuah keniscayaan. Tak mungkin waktu akan berhenti ataupun kembali lagi.

 Sebagaimana yang disebutkan oleh Abu Atahiyah dalam salah satu syairnya;
"Alaa laitasy syabaabu ya'uudu yauman. Faukhbiruhu bimaa fa'alal masyiibu.
Seandainya masa muda kembali suatu hari, akan kukabarkan padanya apa yang dilakukan orang yang telah menua."
(Diwan Abu Atahiyah; 46)

Begitulah hakikat waktu, tak akan bisa kembali dan terulang lagi.
Hari ini, bukan hanya detik, menit, jam, ataupun hari yang berganti. Tapi tahun 2019 akan berganti dengan tahun yang baru; tahun 2010.


Lalu, bagaimanakah kita sebagai seorang Muslim menyikapi tahun baru ini?

Berikut akan kami bahas dengan lebih terperinci lagi.

Tahun baru adalah sebuah momentum berupa hari baru di tahun yang baru.
Di Indonesia tahun baru seringkali dirayakan dengan perayaan yang besar dan meriah. Begitu pula di negara-negara lainnya. Banyak orang merayakan tahun baru dengan berkumpul di tempat luas dan menanti pergantian tahun tiba. Lalu mereka menghidupkan kembang api dan meniup terompet dengan suka cita.

Banyak orang yang tidak tahu bahwasanya perayaan tahun baru bukanlah merupakan tradisi yang dilakukan oleh orang Islam. Perayaan tahun baru merupakan perayaan yang dilakukan oleh orang Romawi sebagai penghormatan bagi Dewa mereka.

Lalu, kebiasaan itu diadopsi oleh orang-orang berikutnya tanpa mengetahui sebab awal dari perayaan tahun baru tersebut. Begitulah sampai hal ini akhirnya sampai ke generasi kita dan masih dirayakan hingga hari ini.

Dalam Islam, kita dilarang untuk mengikuti kebiasaan dan perayaan yang dilakukan oleh orang-orang di luar Islam. Hal ini dikarenakan jika kita melakukan apa yang merupakan tradisi dan kebiasaan dari agama lain merupakan sebuah perbuatan yang dinamakan tasyabbuh.

Apa itu tasyabbuh?

Tasyabbuh secara bahasa diambil dari kata syabbaha-yusyabbihu-tasybiihan yang berarti meniru atau mencontoh, menjalin atau mengaitkan diri, dan mengikuti.

Hal ini dilarang dalam Islam. Karena, jika kita mengikuti dan menyerupai tradisi orang-orang kafir, maka hal ini merupakan sebuah keloyalan terhadap orang-orang kafir. Dan itu bertentangan dengan prinsip wala' bara' dalam Islam. Di mana seorang muslim hendaknya berwala' (loyal)  terhadap orang muslim lainnya, dan berwara' (berlepas diri) terhadap orang-orang kafir.

Tentang prinsip Wala' dan Bara' ini, Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ


“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (rahasia), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu..” (QS. Al-Mumtahanan: 1)


Itulah yang seharusnya dilakukan oleh seorang Muslim. Maka, tidak selayaknya kita mengikuti tradisi-tradisi tersebut. Karena hal itu bertentangan dengan ajaran agama kita.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Siapa yang meniru kebiasaan satu kaum maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut.” (Hadis shahih riwayat Abu Daud)

Dalam riwayat lain, Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda,

ليس منا من تشبه بغيرنا

“Bukan termasuk golongan kami siapa saja yang menyerupai selain kami” (HR. Tirmidzi no. 2695. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Lalu, bagaimanakah batasan sebuah perbuatan atau tradisi itu disebut sebagai perbuatan tasyabbuh?

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Patokan disebut tasyabbuh adalah jika melakukan sesuatu yang menjadi kekhususan orang yang ditiru. Misalnya yang disebut tasyabbuh pada kafir adalah seorang muslim melakukan sesuatu yang menjadi kekhususan orang kafir. Adapun jika sesuatu sudah tersebar di tengah-tengah kaum muslimin dan tidak jadi kekhasan atau pembeda dengan orang kafir, maka tidak lagi disebut tasyabbuh. Seperti itu tidaklah dihukumi tasyabbuh, namun bisa jadi dinilai haram dari sisi lain.” (Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 3: 30).

Jadi, kita harus menjauhi segala perbuatan yang merupakan bentuk penyerupaan terhadap tradisi-tradisi orang kafir yang bertentangan dengan syariat Islam. Syariat Islam telah sempurna dengan semua aturan yang ada di dalamnya. Segala sesuatu yang tak ada anjurannya dalam agama hendaknya kita jauhi dan jangan dilakukan. Begitu juga dengan tradisi tahun baru yang memang tak ada ajarannya dalam Islam dan malah banyak di dalamnya kemunadziran dan kemaksiatan di dalamnya.

Lalu, apakah solusi yang Islam tawarkan sebagai pengganti budaya tahun baru ini? 

Islam punya dua hari raya yang sudah cukup untuk dirayakan; yaitu hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Di kedua hari raya ini umat Islam bersuka cita dan merayakannya dengan bersilaturahim dan mengunjungi satu sama lain.

Selain itu, Islam mengganti perayaan-perayaan yang dahulu dilakukan oleh orang-orang jahiliah dengan dua hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.

Tentang hal ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda.

قدمت عليكم ولكم يومان تلعبون فيهما إن الله عز و جل أبدلكم بهما خيرا منهما يوم الفطر ويوم النحر 

Saya mendatangi kalian dan kalian memiliki dua hari raya, yang kalian jadikan sebagai waktu untuk bermain. Padahal Allah telah menggantikan dua hari raya terbaik untuk kalian; idul fitri dan idul adha.” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Nasa’i).

Lalu apakah yang harus kita lakukan ketika malam tahun baru tiba?

Jadikanlah malam tahun baru seperti malam-malam lainnya. Isilah dengan perbuatan-perbuatan bisa mendekatkan kita pada Allah. Tak usahlah kita ikut berdesak-desakan dengan orang banyak untuk ikut merayakan tahun baru.
Yang terpenting bagi kita bukanlah merayakan tahun baru, akan tetapi iman yang selalu terbarukan dan meningkat setiap waktunya.

Semoga Allah menjaga kita dari melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan apa yang diajarkan oleh syariat Islam.

***

Pati, 31 Desember 2019
Oleh: Ahmad Yusuf Abdurrohma
       (Mahasiswa LIPIA JAKARTA)






Share this:

Posting Komentar

 
Copyright © 2014 nasehatku.com. Designed by Nasehat Taujih