Bulan Muharram dikenal dengan sebutan bulan Suro,
bulan yang dianggap sakral dan penuh mistik di kalangan sebagian orang.
Khususnya masyarakat Jawa yang menganggapnya sebagai bulan keramat. Hal ini
dikarenakan pada bulan sakral muncul berbagai keyakinan yang keliru, bahkan
menjurus pada perbuatan syirik.
Ada tanggal-tanggal tertentu bagi mereka untuk
menghentikan aktivitas–aktivitas yang bersifat hajatan besar sebab hari itu
mereka anggap sebagai hari naas atau sial. Budaya ini sudah mengakar dan
menjadi acuan sebagai warisan nenek moyang.
Hal ini terjadi karena pengaruh asimilasi budaya
Hindu dan Islam yang ketika berbaur memunculkan isme baru yaitu paham kejawen.
Pada zaman Jahiliyah juga ada keyakinan yang sedemikian rupa. Pada saat itu masyarakat pada zaman Jahiliyah takut menikah atau menikahkan pada bulan Syawal. Masyarakat berkeyakinan, akan mendapat kesialan apabila melangsungkan akad pernikahan pada bulan tersebut.
Dalam keyakinan masyarakat
Jawa, bulan Suro adalah bulannya priyayi. Suro menjadi waktu untuk memandikan
benda-benda pusaka dan melaksanakan berbagai ritual sakral kejawen sehingga ada
beberapa pantangan yang tidak boleh dilakukan masyarakat Jawa di bulan ini. Misalnya, tidak boleh mengadakan
pernikahan, menunda pindah rumah, dan dilarang mengadakan pesta hajatan.
Bahkan, banyak yang
menyampaikan alasan yang tidak masuk akal. Misalnya, pada bulan Suro penguasa
Laut Selatan, Nyi Roro Kidul, melangsungkan hajat pernikahan. Keyakinan
turun-temurun itulah yang membuat orang-orang enggan melangsungkan hajat di
bulan Muharram.
Namun sebenarnya, dalam islam, Muharram adalah bulan yang mulia. Dalam surat At-Taubah [9]:36, Allah berfirman,
"Sesungguhnya
bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di
waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (suci)
...."
Anggapan
adanya kesialan pada bulan Muharram sering dijadikan ketakutan masyarakat untuk
melangsungkan pernikahan atau hajat besar. Anggapan seperti ini merupakan
perkara bathil dan termasuk thiyarah atau tathayyur, yaitu anggapan sial karena
melihat atau mendengar sesuatu, ataupun karena sesuatu yang sudah mengakar di
kalangan masyarakat.
Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wasallam juga telah menjelaskannya sebagai bagian dari
perbuatan syirik dalam hadits riwayat Muttafaq
'Alaih:
لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ
“Tidak ada penyakit menular dan
tidak ada ramalan nasib sial.”
Lebih
lanjut lagi, dalam sebuah hadist riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, dan
Al-Hakim menjelaskan:
الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ
“Ramalan nasib adalah syirik,
ramalan nasib adalah syirik (sebanyak tiga kali).”
Dalam
satu tahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan
bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram
(suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqaidah, Dzulhijah, dan Muharram
satu bulan lagi adalah Rajab.
Sehingga jelaslah jika kedudukan bulan Muharram
sangat mulia. Terlebih, pernikahan sebagai wujud sunnah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Sebuah
ikatan yang bisa mengubah haram menjadi halal dan berpahala serta akan
mendapatkan ridha dari Allah. Tentu menikah di bulan Muharram pahalanya justru
akan lebih berlimpah.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wasallam bersabda dalam hadist riwayat Ahmad:
مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ مِنْ
حَاجَةٍ فَقَدْ أَشْرَكَ
“Siapa yang mengurungkan niatnya
karena thiyarah, maka ia telah berbuat syirik.”
Pada bulan Muharram
disyariatkan untuk melaksanakan puasa Asyura yang ganjarannya sangat besar.
Ganjaran puasa Asyura bisa menghapus dosa satu tahun yang sudah lewat.
"Puasa yang paling utama setelah (puasa)
Ramadhan adalah puasa pada syahrullah (bulan Allah) yaitu Muharram. Sementara,
shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam." (HR
Muslim).
Melihat kaum Yahudi berpuasa pada tanggal 10
Muharram, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam merasa umat Muslim harus lebih bersyukur atas
diselamatkannya Nabi Musa alaihisalam. Pernikahan sebagai sebuah ibadah dan bentuk niat
baik seharusnya tidak dibatasi oleh waktu. Karena
ingatlah bahwa mengatakan satu waktu atau bulan tertentu adalah bulan penuh
musibah dan penuh kesialan, itu sama saja dengan mencela waktu.
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
bersabda, ”Beranggapan sial termasuk
kesyirikan, beranggapan sial termasuk kesyirikan. (Beliau menyebutnya tiga
kali, lalu beliau bersabda). Tidak ada di antara kita yang selamat dari
beranggapan sial. Menghilangkan anggapan sial tersebut adalah dengan
bertawakkal.”
Hanya Allah yang memberikan taufik dan hidayah.
Semoga kita semua dijauhkan dari khurofat-khurofat dan kesyirikan yang dapat melunturkan keimanan kita. (Sakinah-Sidoarjo)
Posting Komentar