Ketika ruh telah ditiupkan,
Haram melakukan aborsi tanpa ada khilaf (perselisihan) antara para ulama.
Adapun sebelum itu (sebelum ditiupkan ruh), terdapat perselisihan di antara
para ulama. Jumhur (mayoritas) ulama mengatakan haram. Sebagian ulama mengatakan
makruh. Sebagian lagi boleh jika ada udzur. Bahkan ada yang mengatakan boleh
secara mutlak.
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin
Baz rahimahullah menjelaskan dalam fatawanya:
Mengenai masalah aborsi
perlu dirinci karena permasalahannya adalah masalah yang pelik. Rinciannya,
jika pada 40 hari pertama (terbentuknya nutfah), hal itu lebih lapang bila
memang dibutuhkan ditempuh jalan aborsi. Misalnya dalam keadaan si wanita masih
memiliki bayi yang masih kecil yang perlu diasuh dengan baik dan sangat sulit
merawatnya dalam keadaan hamil. Atau bisa pula keadaannya dalam keadaan sakit
yang sangat memberatkan jika hamil. Kondisi-kondisi semisal ini membolehkan
untuk aborsi pada 40 hari pertama (saat masih terbentuk nutfah).
Untuk 40 hari berikutnya
ketika telah terbentuk ‘alaqoh (segumpal darah) dan mudghoh (segumpal
daging), aborsi saat itu lebih berat hukumnya. Boleh menggugurkan kandungan
saat itu jika memang benar-benar ada udzur seperti adanya penyakit berat dan
telah ada keputusan dari dokter spesialis (kandungan) bahwa bisa menimbulkan
bahaya besar jika tetap hamil. Kondisi seperti ini membolehkan adanya
pengguguran kandungan karena khawatir dapat menimbulkan bahaya lebih besar.
Adapun setelah ditiupkannya ruh yaitu setelah empat
bulan, maka tidak boleh melakukan aborsi sama sekali. Bahkan wajib bersabar
sampai bayi tersebut lahir. Dikecualikan jika ada keputusan dari para dokter
spesialis (kandungan) yang terpercaya (bukan hanya satu dokter) bahwa jika
tetap tidak digugurkan, maka dapat membunuh ibunya, untuk kondisi satu ini
tidak mengapa jika ditempuh jalan untuk melakukan aborsi karena khawatir adanya
kematian sang ibu. Hidupnya ibu saat itu lebih utama. Namun sekali lagi, hal
ini boleh dilakukan jika sudah ada keputusan dari para dokter yang kredibel
(bukan hanya satu) yaitu bila tetap hamil malah bisa berujung kematian sang
ibu. Jika memang terpenuhi syarat tersebut, maka tidak mengapa ditempuh jalan
aborsi insya Allah.
dapat dirinci sebagai berikut:
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, aborsi adalah pengguguran kandungan. Pada
dasarnya, setiap orang dilarang melakukan aborsi berdasarkan Pasal
75 ayat (1) UU No.
36Tahun 2009 tentang Kesehatan ("UU Kesehatan").
Pengecualian terhadap larangan melakukan aborsi
diberikan HANYA dalam 2 kondisi berikut:
a) indikasi kedaruratan
medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu
dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan,
maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di
luar kandungan; atau
b) kehamilan akibat
perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
(lihat Pasal 75 ayat [2] UU Kesehatan)
Namun, tindakan aborsi yang diatur dalam Pasal
75 ayat (2) UU Kesehatan itu pun HANYA DAPAT dilakukan setelah melalui
konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca
tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang (lihat Pasal
75 ayat [3] UU Kesehatan).
Selain itu, aborsi hanya dapat dilakukan:
a) sebelum kehamilan
berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam
hal kedaruratan medis;
b) oleh tenaga kesehatan
yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang
ditetapkan oleh menteri;
c) dengan persetujuan
ibu hamil yang bersangkutan;
d) dengan izin suami,
kecuali korban perkosaan; dan
e) penyedia layanan
kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.
___________________________________
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl840/penerapan-hukum-pidana-dalam-aborsi-ilegal/
Posting Komentar