BREAKING NEWS

[KACAMATA HUKUM] Ambil Foto Orang Diam-Diam, Bisa Dipidanakan


Pertanyaan :

Ada teman kami sedang bekerja dan tanpa sadar difoto diam-diam dengan menggunakan HP yang mana gambar itu seolah-olah posisinya menunduk seperti sedang tidur. Lalu gambar itu dicetak dan dijadikan bukti bahwa teman kami sedang tidur. Yang saya tanyakan bagaimana keabsahan bukti tersebut dan termasuk pelanggar UU ITE-kah hal tersebut? 


Artikel di bawah ini merupakan pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang pertama kali dibuat oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. pada Jumat, 7 Februari 2014.

 

Dari cerita yang Anda sampaikan, kami berasumsi bahwa maksud dari dijadikannya foto teman Anda yang telah dicetak sebagai bukti adalah untuk kepentingan pembuktian kepada atasan atas sikap pekerja yang “seolah-seolah” sedang tidur saat jam kerja. Artinya, foto yang telah dicetak tidak digunakan untuk kepentingan pembuktian tindak pidana.

 

Hukum Mengambil Gambar Diri/Memfoto Orang Tanpa Persetujuannya

Pertama, kami mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”).

Foto teman Anda yang diambil melalui kamera ponsel dapat dikatakan sebagai informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik apabila masih berbentuk elektronik (jika belum dicetak) sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 UU ITE:

 

Pasal 1 angka 1 UU 19/2016:

Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

 

Pasal 1 angka 4 UU 19/2016:

Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

 

Kemudian, jika dilihat dari segi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UUHC”), foto teman Anda dikategorikan sebagai potret, yaitu karya fotografi dengan objek manusia.

 

Orang yang mengambil gambar/memfoto teman Anda saat bekerja dapat disebut sebagai pencipta, yaitu seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi


Sebagai pencipta, si pengambil foto memiliki hak cipta yang memberi sejumlah hak eksklusif kepada pencipta di antaranya untuk melaksanakan perbanyakan, pengumuman termasuk perubahan atas gambarnya sendiri dan melarang orang lain melaksanakan tindakan-tindakan tersebut tanpa seijinnya.

 

Namun, terdapat pembatasan atas penggunaan hak cipta atas suatu potret. Artinya, orang yang mengambil potret harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari orang yang dipotret, sebab Pasal 12 ayat (1) UUHC telah mengatur:

 

Setiap Orang dilarang melakukan Penggunaan Secara Komersial, Penggandaan, Pengumuman, Pendistribusian, dan/atau Komunikasi atas Potret yang dibuatnya guna kepentingan reklame atau periklanan secara komersial tanpa persetujuan tertulis dari orang yang dipotret atau ahli warisnya.

 

Atas pelanggaran Pasal 12 ayat (1) UUHC, pelaku dapat dijerat pidana denda paling banyak Rp500 juta.

 

Akan tetapi berdasarkan kronologis yang diceritakan, kami asumsikan bahwa potret yang diambil bukan untuk kepentingan reklame atau periklanan secara komersial, melainkan untuk dilaporkan ke atasan “seolah-seolah” sedang tidur saat jam kerja, sehingga tidak termasuk perbuatan di atas.

 

Kepentingan Pembuktian

Dalam hukum pidana, foto yang telah dicetak sah sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang – undang, yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU ITE jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi:

 

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetakannya merupakan alat bukti hukum yang sah.

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.

Dari sini bisa diketahui bahwa untuk kepentingan pembuktian tindak pidana, foto sebagai informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang telah dicetak merupakan alat bukti hukum yang diakui secara sah.

 

Apabila gambar/potret teman Anda yang telah dicetak itu digunakan untuk kepentingan pembuktian pada hukum pidana, maka foto tersebut adalah sah diakui secara hukum. Lalu bagaimana jika foto itu digunakan tidak untuk kepentingan pembuktian pada hukum pidana? Melainkan hanya ditunjukkan ke atasan teman Anda?

 

Di luar untuk kepentingan hukum pidana, hal ini berarti foto teman Anda dapat saja dijadikan sebagai bukti untuk menyatakan kebenaran bahwa teman Anda “tidur” di kantor saat jam kerja dan menunjukkannya kepada atasan. Tapi ada yang perlu dicermati di sini, yaitu kebenaran bahwa teman Anda memang tidur atau tidak saat jam kerja.

 

Apabila ternyata teman Anda memang benar bekerja dan tidak sedang dalam keadaan tidur, maka si pengambil foto atau pelaku yang memberikan hasil cetak foto teman kepada atasan dapat dikenakan sanksi pidana atas dasar perbuatan menista yang terdapat dalam Pasal 310 ayat (2) jo. ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), yang berbunyi:

 

Pasal 310 ayat (1) dan (2):

Barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya 9 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,-

Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4.500,-.

 

Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP dilipatgandakan menjadi 1.000, sehingga bunyi Pasal 310 ayat (2) KUHP di atas menjadi pidana denda paling banyak Rp4.5 juta.[4]

 

Jadi, jika perbuatan memberikan hasil cetak foto teman Anda yang dituduh sedang tidur padahal sedang bekerja dengan maksud untuk diketahui oleh orang banyak dan perbuatan tersebut adalah perbuatan yang memalukan, maka dapat dipidana dengan Pasal 310 ayat (2) KUHP ini.

  

Menjawab pertanyaan Anda, perbuatan “menista” tersebut tidak bisa dikenakan ancaman pidana dalam UU ITE karena perbuatan tidak dilakukan dengan jalan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE.

 

Foto yang telah dicetak tersebut tidak lagi dalam bentuk informasi dan/atau dokumen elektronik. Lain halnya apabila foto tersebut didistribusikan dan/atau ditransmisikan secara elektronik.

 

sumber : Hukumnya Jika Diam-Diam Memfoto Orang Lain


 

Share this:

Posting Komentar

 
Copyright © 2014 nasehatku.com. Designed by Nasehat Taujih