BREAKING NEWS

[KACAMATA HUKUM] Mewajibkan Pegawai Untuk Share Location Diluar Jam Kerja ??!!


Pertanyaan

Di masa pandemi, perusahaan mewajibkan karyawan untuk melakukan share live location (pembagian alur pergerakan) karyawan di luar jam kerja dengan tujuan memantau pergerakan karyawan guna meminimalisasi penyebaran COVID-19 di tingkat perusahaan. Apakah kewajiban share live location tersebut melanggar hak atas privasi karyawan dan bertentangan dengan hukum Indonesia?

Untuk mencegah penularan COVID-19, terdapat beberapa kebijakan yang diterapkan oleh instansi pemerintahan maupun swasta. Salah satunya yaitu dengan melakukan pemantauan keberadaan karyawan.

 

Sebagai contoh, Badan Kepegawaian Negara (“BKN”) dalam Angka 5 huruf a poin 9 Surat Edaran Nomor 20/SE/IX/2020 tentang Perubahan atas Surat Edaran Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 15/SE/VI/2020 tentang Sistem Kerja Pegawai dalam Tatanan Normal Baru di Lingkungan Badan Kepegawaian Negara (“SE Kepala BKN 20/2020”) mengatur sebagai berikut:


Setiap pimpinan unit kerja wajib melakukan pengawasan/pemantauan terhadap keberadaan pegawai dalam melaksanakan pekerjaan dan kondisi kesehatan pegawai di lingkungan kerjanya.

 

Dalam praktiknya, pemantauan pergerakan pegawai tersebut dilakukan oleh sejumlah pemberi kerja melalui pelacakan lokasi dengan memanfaatkan teknologi global positioning system (“GPS”). Fitur tersebut biasanya digunakan untuk memantau lokasi karyawan yang dipekerjakan Work From Home (“WFH”) sekaligus sebagai pengganti bukti kehadiran karyawan.


Tapi, bagaimana hukumnya jika perusahaan memantau pergerakan karyawan di luar jam kerja dengan mewajibkan karyawan memberitahukan lokasi keberadaanya (share live location)? Apakah kebijakan tersebut melanggar ha katas privasi milik karyawan? Untuk itu, kami akan membahasnya dengan mengasumsikan bahwa kebijakan tersebut tertuang dalam peraturan perusahaan (“PP”).

 

Hak atas Privasi

Privasi adalah kebebasan pemilik data pribadi untuk menyatakan rahasia atau tidak menyatakan rahasia data pribadinya, kecuali ditentukan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Lebih lanjut, dalam Penjelasan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”) dijelaskan sebagai berikut:

 

Dalam pemanfaatan Teknologi Informasi, perlindungan data pribadi merupakan salah satu bagian dari hak pribadi (privacy rights). Hak pribadi mengandung pengertian sebagai berikut:

  1. Hak pribadi merupakan hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan bebas dari segala macam gangguan.
  2. Hak pribadi merupakan hak untuk dapat berkomunikasi dengan Orang lain tanpa tindakan memata-matai.
  3. Hak pribadi merupakan hak untuk mengawasi akses informasi tentang kehidupan pribadi dan data seseorang.

 

Walter Lipmann dalam Public Opinion (hal.44-45) mengemukakan pandangannya terkait privasi sebagai berikut:

 

At different times and for different subjects some men impose and other men accept a particular standard of secrecy. The frontier between what is concealed because publication is not, as we say, "compatible with the public interest" fades gradually into what is concealed because it is believed to be none of the public's business.

The notion of what constitutes a person's private affairs is elastic. Thus the amount of a man's fortune is considered a private affair, and careful provision is made in the income tax law to keep it as private as possible. The sale of a piece of land is not private, but the price may be.

 

Jika diterjemahkan secara bebas, pada waktu dan untuk subjek yang berbeda, beberapa orang memaksakan dan orang lain menerima standar kerahasiaan tertentu. Batasan antara apa yang dirahasiakan karena publikasinya tidak "sesuai dengan kepentingan publik" perlahan-lahan memudar menjadi merahasiakan suatu hal karena diyakini bahwa hal tersebut bukan urusan publik.

 

Lebih lanjut, Lipmann mengatakan bahwa gagasan mengenai apa yang merupakan urusan pribadi seseorang bersifat elastis. Sebagai contoh, jumlah kekayaan dianggap sebagai urusan pribadi, dan ketentuan yang cermat dibuat dalam undang-undang pajak penghasilan untuk menjaganya tetap bersirfat pribadi (rahasia). Penjualan sebidang tanah bukanlah urusan pribadi, tapi harganya bisa jadi (pribadi).

 

Selaras dengan pendapat tersebut, Alex Sobur dalam artikel Pers, Hak Privasi, dan Hak Publik yang dimuat dalam Jurnal Komunikasi Mediator menyatakan bahwa selama kepentingan umum tidak tersangkut, kehidupan pribadi anggota masyarakat tidak boleh dilaporkan tanpa izin yang bersangkutan (hal.88).

 

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa hak atas privasi adalah hak seseorang untuk menyimpan hal yang bersifat rahasia secara bebas/leluasa tanpa diketahui orang lain di luar kehendaknya, kecuali ditentukan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yang mana hal tersebut menyangkut kepentingan umum.

 

Bolehkah Perusahaan Mewajibkan Karyawan Membagikan Live Location?

Sepanjang penelusuran kami, belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur secara spesfifik mengenai pelacakan lokasi terkini bagi karyawan.

 

Namun, kebijakan tersebut berkaitan erat dengan hak asasi manusia (“HAM”), dalam hal ini yakni hak atas privasi karyawan sebagaimana telah dijamin dalam Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (“UUD NRI 1945”) sebagai berikut:

 

Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

 

Ketentuan serupa juga diatur dalam Pasal 29 dan 30 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”).

Disarikan dari artikel Apakah Hak atas Privasi Termasuk HAM?, meskipun rumusan pasal di atas tidak secara eksplisit menyatakan mengenai hak atas privasi, namun rumusan pasal di atas memiliki nuansa perlindungan yang sama dengan rumusan Article 12 Universal Declaration of Human Rights yang kemudian diadopsi ke dalam Article 17 International Covenant on Civil and Political Rights yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), yang secara eksplisit memberikan jaminan terhadap hak atas privasi. Sehingga, Pasal 28G ayat (1) UUD NRI 1945 dapat dikatakan sebagai landasan konstitusional mengenai jaminan hak atas privasi.

 

Pengaturan yang lebih spesifik mengenai hak atas privasi dalam media elektronik diatur dalam Pasal 26 ayat (1) UU 19/2016 yang berbunyi:

 

Kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan.

 

Dalam ketentuan di atas ditegaskan bahwa salah satu prinsip penggunaan informasi dalam media elektronik yang menyangkut data pribadi, dalam hal ini data terkait lokasi, adalah adanya persetujuan dari pemilik data tersebut.

 

Menurut hemat kami, kebijakan perusahaan yang mewajibkan karyawan membagikan lokasi terkininya di luar jam kerja, yang mana hal tersebut bersifat pribadi, bertentangan dengan prinsip persetujuan tersebut, karena dengan mewajibkan, berarti perusahaan telah menghilangkan hak karyawannya untuk memilih antara setuju atau tidak setuju untuk memberikan data pribadinya.

 

Berkaitan dengan upaya untuk meminimalisasi penyebaran COVID-19, Human Rights Watch dalam artikel Mobile Location Data and Covid-19: Q&A memaparkan prinsip terkait penerapan kebijakan pemantauan melalui data lokasi sebagai berikut:

 

Even in times of emergency, when states restrict human rights for public health reasons, international human rights law says that measures taken that limit people’s rights and freedoms must be lawful, necessary, and proportionate.

 

Jika diterjemahkan secara bebas, paragraf di atas menjelaskan bahwa bahkan ketika negara membatasi HAM, dalam hal ini hak atas privasi dengan melakukan pemantauan lokasi lewat perangkat elektronik, karena alasan kesehatan masyarakat dalam keadaan darurat, hukum HAM internasional mengatakan bahwa tindakan yang membatasi hak dan kebebasan orang harus sah menurut hukum, perlu, dan proporsional, dengan penjabaran sebagai berikut:

  1. Sah menurut hukum, dalam arti tidak sewenang-wenang atau diskriminatif dalam desain atau penerapannya dan ditetapkan dalam undang-undang secara khusus untuk memberi gambaran yang jelas tentang apa yang dilarang dan batasan-batasannya.
  2. Diperlukan, dalam arti pembatasan tersebut akan efektif, didasarkan pada bukti ilmiah, dan tidak ada alternatif yang akan berdampak lebih kecil pada hak-hak terkait.
  3. Proporsional dengan risiko terhadap kesehatan masyarakat dan sama sekali tidak mengkompromikan esensi hak tersebut.

 

Pasal 73 UU HAM juga turut menegaskan bahwa hak dan kebebasan yang diatur dalam UU HAM, termasuk hak atas privasi sebagaimana kami jelaskan sebelumnya, hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap HAM serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.

 

Dengan demikian, baik hukum HAM nasional dan internasional telah menegaskan bahwa pembatasan hak atas privasi harus dilakukan/ditetapkan melalui undang-undang secara khusus. Oleh karena itu pembatasan yang dilakukan dengan PP sebagaimana dalam kasus yang Anda tanyakan bukan merupakan aturan pembatasan HAM yang sah.  

 

Lebih lanjut, jika dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), kebijakan yang tertuang dalam PP tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan mewajibkan karyawan share live location di luar jam kerja tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia.


sumber : hukumonline.com

Share this:

Posting Komentar

 
Copyright © 2014 nasehatku.com. Designed by Nasehat Taujih