Berbicara mengenai pornografi, telah ada beberapa undang-undang yang mengatur substansi yang dimaksud, antara lain:
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”);
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) berikut perubahannya; dan
- Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (“UU Pornografi”).
Dalam Bab XIVKUHP diatur tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan, tetapi tidak diatur mengenai definisi kesusilaan. Demikian juga dengan UU ITE, Pasal 27 ayat (1) UU ITE mengatur larangan mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi atau dokumen elektronik yang bermuatan melanggar kesusilaan.
Dari ketiga undang-undang yang dimaksud, Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (“UU Pornografi”) lebih jelas memberikan definisi mengenai pornografi, yaitu gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Secara teoritis-normatif, foto atau rekaman video hubungan seksual disebut pornografi apabila foto atau rekaman tersebut melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi melarang setiap orang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
- persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
- kekerasan seksual;
- masturbasi atau onani;
- ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
- alat kelamin; atau
- pornografi anak.
Namun, perlu diperhatikan, yang dimaksud dengan "membuat" adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.
Pembuatan Pornografi
Dalam hal pria dan wanita saling memberikan persetujuan untuk perekaman video seksual mereka dan pengambilan foto serta video tersebut hanya digunakan untuk kepentingan sendiri sebagaimana dimaksud dalam pengecualian di atas, maka tindakan pembuatan dan penyimpanan yang dimaksud tidak termasuk dalam ruang lingkup “membuat” sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi.
Tapi, lain halnya jika pria atau wanita melakukan pengambilan gambar atau perekaman hubungan seksual mereka tanpa diketahui oleh pasangannya, atau tanpa persetujuannya, maka pembuatan video tersebut melanggar Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi. Persetujuan (consent) merupakan bagian yang sangat vital dalam menentukan adanya pelanggaran atau tidak.
Distribusi Pornografi
Dalam hal pembuatan foto atau video disetujui oleh para pihak, maka penyebaran oleh salah satu pihak dapat membuat pihak lain terjerat ketentuan pidana, sepanjang pihak itu tidak secara tegas memberikan larangan untuk penyebarannya.
Misalnya jika pria dan wanita sepakat atau saling memberikan persetujuan untuk pembuatan foto atau rekaman pornografi, kemudian si pria menyebarkannya, tetapi wanita sebelumnya tidak memberikan pernyataan tegas untuk melarang pria untuk menyebarkan atau mengungkap pornografi tersebut, maka pihak wanita dapat terjerat tindak pidana penyebarluasan pornografi.
Namun apabila wanita sebelumnya telah memberikan pernyataan tegas bahwa ia setuju membuat pornografi tetapi tidak mengizinkan pria untuk mengungkap atau menyebarkan pornografi tersebut, maka si wanita memiliki posisi yang lebih kuat untuk tidak dipersalahkan karena turut serta menyebarluaskan pornografi.
Demikian juga apabila wanita memang sejak awal tidak mengetahui adanya pembuatan foto atau video pornografi, atau tidak memberikan persetujuan terhadap pembuatan pornografi tersebut, maka dalam hal ini, wanita dapat disebut sebagai korban penyebarluasan konten pornografi.
Penyimpanan Produk Pornografi
Selanjutnya, Pasal 6 UU Pornografi mengatur bahwa:
Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.
Larangan "memiliki atau menyimpan" tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri. Sedangkan yang dimaksud dengan "yang diberi kewenangan oleh perundang-undangan" misalnya lembaga yang diberi kewenangan menyensor film, lembaga yang mengawasi penyiaran, lembaga penegak hukum, lembaga pelayanan kesehatan atau terapi kesehatan seksual, dan lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan tersebut termasuk pula perpustakaan, laboratorium, dan sarana pendidikan lainnya. Kegiatan memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan barang pornografi dalam ketentuan ini hanya dapat digunakan di tempat atau di lokasi yang disediakan untuk tujuan lembaga yang dimaksud.
Kemudian apakah pembuatan video atau foto pornografi tersebut melanggar atau tidak, salah satu interpretasi yang mungkin ialah sebagai berikut:
- Dalam hal pria dan wanita telah saling memberikan persetujuan terlebih dahulu, maka penyimpanan atau pemilikan pornografi tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam proses membuat dan hal ini masuk dalam kategori pengecualian yang dimaksud dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi.Secara teknis, umumnya, setelah video atau foto dibuat, secara otomatis akan disimpan dalam sistem penyimpanan yang ada di dalam media elektronik. Oleh karena itu, secara hukum, apabila dalam satu kesatuan proses, menjadi tidak logis apabila pembuatan diperbolehkan tetapi penyimpanan atau pemilikan dilarang.
- Apabila salah satu pihak tidak memberikan persetujuan terlebih dahulu, maka penyimpanan atau pemilikannya menjadi dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UU Pornografi.
Memfasilitasi Pornografi
Pasal 7 UU Pornografi mengatur bahwa setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 UU Pornografi.
Lantas apakah tindakan pria atau wanita yang memberikan persetujuan kepada pasangannya dalam pembuatan pornografi termasuk memfasilitasi pornografi?
Interpretasi yang dimungkinkan dari ketentuan tersebut ialah bahwa sepanjang wanita atau pria yang telah memberikan persetujuan untuk terlibat di dalam foto atau video pornografi, maka ia tidak dapat dianggap sebagai memfasilitasi perbuatan pornografi.
Penyebaran Pornografi
Pasal 27 ayat (1) UU ITE melarang:
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
Pelanggar pasal di atas dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar. Agar pelaku dapat dijerat dengan pasal ini, ada hal-hal yang harus diperhatikan:
- Konten melanggar kesusilaan yang ditransmisikan dan/atau didistribusikan atau disebarkan dapat dilakukan dengan cara pengiriman tunggal ke orang perseorangan maupun kepada banyak orang (dibagikan, disiarkan, diunggah, atau diposting).
- Fokus perbuatan yang dilarang adalah perbuatan mentransmisikan, mendistribusikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi dan/atau dokumen elektronik bermuatan melanggar kesusilaan, dan bukan pada perbuatan kesusilaannya itu sendiri.
- “Membuat dapat diaksesnya” berarti jika pelaku dengan sengaja membuat publik bisa melihat, menyimpan atau mengirimkan kembali konten melanggar kesusilaan tersebut. Contohnya dengan mengunggah konten di status media sosial, tweet, retweet, membalas komentar, termasuk membuka ulang akses link atau konten bermuatan kesusilaan yang telah diputus aksesnya, tetapi dibuka kembali oleh pelaku sehingga bisa diakses orang banyak.
Di sisi lain, bagi pelaku pelanggar Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi diancam pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250 juta dan paling banyak Rp6 miliar.[6]
Jadi, apabila pria dan wanita sepakat atau saling memberikan persetujuan untuk pembuatan foto atau rekaman pornografi, kemudian pria menyebarkannya, tetapi wanita sebelumnya tidak memberikan pernyataan tegas untuk melarang pria untuk menyebarluaskan atau mengungkap pornografi tersebut maka pihak wanita dapat terjerat tindak pidana penyebarluasan pornografi.
Tetapi, jika wanita sebelumnya telah memberikan pernyataan tegas bahwa ia setuju membuat pornografi tetapi tidak mengizinkan pria untuk mengungkap atau menyebarkannya, maka wanita memiliki posisi yang lebih kuat untuk tidak dipersalahkan sebagai turut serta dalam penyebaran pornografi.
Demikian juga apabila si wanita memang sejak awal tidak mengetahui adanya pembuatan foto atau video pornografi, atau tidak memberikan persetujuan pembuatan pornografi tersebut, maka dalam hal ini, wanita dapat disebut sebagai korban penyebarluasan konten pornografi.
Dasar Hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
- Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi;
- Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, dan Kapolri Nomor 229, 154, KB/2/VI/2021 Tahun 2021 tentang Pedoman Implementasi atas Pasal Tertentu dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Posting Komentar