Apakah mengunggah suatu postingan di Instagram, tapi postingan itu hanya dapat dilihat oleh orang-orang yang masuk ke dalam close friend-nya saja, tidak untuk umum. Kemudian, B yang merupakan salah satu orang yang ada di close friend tersebut merekam layar/ screenshot postingan A dan menyebarkannya ke publik hingga viral. Apakah perbuatan A dapat dijerat pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE?
Ulasan Lengkap
Sebelum membahas lebih jauh, ada baiknya kita pahami apa yang dimaksud dengan close friend dan screenshot.
Screenshot Unggahan Close Friend Instagram Orang Lain
Secara umum, close friend merupakan istilah yang digunakan pengguna Instagram untuk menyebut fitur yang disediakan Instagram berupa pengaturan orang-orang yang dapat melihat suatu unggahan milik orang lain.
Dengan memilih opsi close friend, seseorang dapat membagikan konten/unggahan hanya untuk orang-orang tertentu yang dipilih oleh si pengunggah, dan tidak untuk publik. Orang tertentu itulah yang kemudian disebut sebagai close friend atau teman dekat, jika diterjemahkan bebas ke dalam bahasa Indonesia.
Kemudian, Cambridge Dictionary mendefisinikan screenshot sebagai:
to make an image of what is shown on a computer screen so it can be copied or saved
Bila diterjemahkan secara bebas, screenshot suatu perbuatan untuk menjadikan hal yang ditampilkan di layar gawai menjadi sebuah gambar, sehingga dapat disalin (copy) atau disimpan.
Jika dikaitkan dengan definisi dokumen elektronik dan informasi elektronik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) dan aturan perubahannya, dalam artikel Hukumnya Mengirim Screenshot Chat yang Telah Dimanipulasi diterangkan bahwa screenshot merupakan dokumen elektronik, sedangkan isi dari file screenshot tersebut termasuk informasi elektronik.
Sehingga, untuk mengetahui hukum mengunggah screenshot dari postingan yang diperuntukkan kepada close friend tersebut ke internet sehingga diketahui oleh umum, kita dapat merujuk pada ketentuan dalam UU ITE dan perubahannya.
Risiko Hukum Mempublikasikan ScreenshotPostingan Close Friend
Secara garis besar, terdapat 2 pasal dalam UU ITE beserta perubahannya yang berpotensi menjerat si pengunggah screenshot tersebut, yaitu:
Randy Arninto, S.H., LL.M. dari Indonesia Cyber Law Community (ICLC) dalam artikel Jerat Hukum Bagi Penyebar Capture Percakapan via BBM menerangkan bahwa secara garis besar, penyebaran informasi elektronik privat ke publik merupakan bentuk pelanggaran privasi. Jika dalam unggahan capture/screenshot terdapat data pribadi di antaranya nama, tulisan, dan/atau gambar yang dapat mengidentifikasikan seseorang maka penyebaran melalui media elektronik tersebut harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan, sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”):
Kecuali ditentukan lain oleh peraturan Perundang-undangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan.
Atas perbuatan tersebut, setiap orang yang dilanggar haknya, dalam hal ini yakni korban, dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan.
2. Pasal 27 ayat (3) UU ITE
Pengunggah screenshot tersebut juga berpotensi melanggar larangan dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE berikut ini:
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Namun, merujuk pada Angka 3 huruf c Lampiran Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 229, 154, KB/2/VI/2021 Tahun 2021 tentang Pedoman Implementasi atas Pasal Tertentu dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“SKB UU ITE”) (hal. 11), ditegaskan bahwa jika muatan/konten yang ditransmisikan, didistribusikan, dan/atau dibuat dapat diaksesnya tersebut berupa penilaian, pendapat, hasil evaluasi, atau sebuah kenyataan, maka perbuatan tersebut bukan merupakan delik yang berkaitan dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE.
Selain itu, fokus pemidanaan terkait Pasal 27 ayat (3) UU ITE bukan dititikberatkan pada perasaan korban, melainkan pada perbuatan pelaku yang dilakukan secara sengaja dengan maksud mendistribusikan/mentransmisikan/membuat dapat diaksesnya informasi yang muatannya menyerang kehormatan seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal supaya diketahui umum, yakni kumpulan orang banyak yang sebagian besar tidak saling mengenal.[2]
Sehingga, jika merujuk pada SKB UU ITE tersebut, si penyebar tidak melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE, mengingat hal yang disebarkan tersebut dapat diasumsikan merupakan sebuah kenyataan, yang mana diambil dari konten yang disebarkan sendiri oleh orang yang unggahannya di-screenshot tersebut.
Meski demikian, patut diperhatikan, disarikan dari SKB UU ITE Tak Bisa Mengikat Penafsiran Hakim, Apakah Berfaedah?, meskipun SKB UU ITE bisa mengontrol kesamaan pandangan aparat penegak hukum dalam menerapkan UU ITE sebelum maju ke pengadilan, namun SKB UU ITE tidak bisa mengikat penafsiran hakim.
Sehingga, meskipun dalam SKB UU ITE telah ditegaskan bahwa muatan berupa suatu kenyataan yang disebarkan tidak melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE, tapi majelis hakim bisa saja memutuskan lain, sehingga si pengunggah masih berpotensi dipidana atas aduan dari si korban.[3]
Selain itu, patut diperhatikan, jika screenshot tersebut kemudian diunggah ulang disertai muatan berupa penghinaan yang kategorinya cacian, ejekan, dan/atau kata-kata tidak pantas, si pelaku dapat dijerat Pasal 315 Kitab Undang-undang Hukum Pidana(“KUHP”)[4] yang berbunyi:
Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis, yang dilakukan terhadap seorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan, dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Sebagai catatan, Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP menerangkan bahwa ketentuan denda dalam KUHP, termasuk Pasal 315 KUHP, dilipatgandakan 1.000 kali. Sehingga, nilai denda dalam Pasal 315 KUHP menjadi Rp4,5 juta.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Kitab Undang-undang Hukum Pidana;
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
- Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 229, 154, KB/2/VI/2021 Tahun 2021 tentang Pedoman Implementasi atas Pasal Tertentu dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Referensi:
[1] Pasal 26 ayat (2) UU 19/2016
[2] Angka 3 huruf g Lampiran SKB UU ITE, hal. 12
[3] Pasal 45 ayat (5) UU 19/2016
[4] Angka 3 huruf b Lampiran SKB UU ITE, hal. 10
sumber : hukumonline.com
Posting Komentar