Selama PPKM, seringkali diberitakan Satpol PP yang menindak pelanggar PPKM dengan kekerasan. Misalnya, kasus penertiban PPKM di Kabupaten Gowa, di mana Satpol PP bahkan menganiaya pemilik kafe yang melanggar aturan PPKM. Bagaimana pandangan hukum terkait ini?
Satpol PP Berwenang Tegakkan Perda dan Perkada
Satuan Polisi Pamong Praja (“Satpol PP”) adalah perangkat daerah yang dibentuk untuk menegakkan Peraturan Daerah (“Perda”) dan Peraturan Kepala Daerah (“Perkada”), menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman serta menyelenggarakan pelindungan masyarakat. [1] Satpol PP menyelenggarakan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat di provinsi dan kabupaten/kota.[2]
Dikaitkan dengan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (“PPKM”) yang ditetapkan pemerintah pusat dalam rangka menanggulangi COVID-19, dalam praktiknya diatur lebih lanjut oleh setiap daerah, baik dalam bentuk Perda dan Perkada.
Misalnya di DKI Jakarta, ketentuan penanggulangan COVID-19 diatur di Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Corona Virus Disease 2019 (“Perda DKI Jakarta 2/2020”), yang kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Corona Virus Disease 2019 (“Pergub DKI Jakarta 3/2021”).
Adapun kebijakan PPKM level 4 dituangkan dalam Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 938 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Level 4 Corona Virus Disease 2019 (“Kepgub DKI Jakarta 938/2021”).
Berdasarkan Perda dan Perkada yang berlaku di daerah tempat ia ditugaskan, anggota Satpol PP kemudian melaksanakan tugasnya. Untuk itu, anggota Satpol PP berwenang melakukan tindakan penertiban non-yustisial terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada.[3]
Disarikan dari Arti Tindakan Penertiban Non-Yustisial oleh Satpol PP, yang dimaksud dengan tindakan penertiban non-yustisial adalah tindakan Polisi Pamong Praja dalam rangka menjaga dan/atau memulihkan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat terhadap pelanggaran Perda dan/atau Perkada dengan cara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan tidak sampai proses peradilan.
Dilarang Menggunakan Kekerasan
Satpol PP saat menegakkan Perda dan Perkada harus mematuhi standar operasional prosedur dan kode etik.[4] Senada dengan ketentuan tersebut, pegawai negeri sipil Satpol PP wajib menjunjung hak asasi manusia, menaati peraturan perundang-undangan dan kode etik serta nilai agama dan etika, bertindak objektif dan tidak diskriminatif, dan memelihara persatuan dan kesatuan bangsa.[5]
Selain itu, dalam menegakkan aturan PPKM, Satpol PP juga dilarang menggunakan kekerasan, sebagaimana diinstruksikan Poin 2 Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 440/3929/SJ Tahun 2021 tentang Penertiban Pelaksanaan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat dan Percepatan Pemberian Vaksin bagi Masyarakat (“SE Mendagri 440/2021”).
Dalam surat edaran tersebut, kepala daerah seluruh indonesia diinstruksikan untuk memerintahkan jajaran Satpol PP di daerah masing-masing untuk mengutamakan langkah-langkah yang profesional, humanis dan persuasif dalam pelaksanaan PPKM pada tahapan:
- Penertiban pelaksanaan PPKM sebagaimana yang telah diatur dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri tentang PPKM;
- Penegakan hukum/disiplin yang tegas namun santun dan simpatik bagi masyarakat yang melanggar ketentuan PPKM dan dilarang menggunakan kekerasan yang berpotensi pelanggaran hukum; dan
- Dalam pelaksanaan huruf a dan huruf b di atas, agar tetap bersinergi dengan jajaran TNI/Polri dan unsur Forkopimda lain yang terkait.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa Satpol PP wajib menaati kode etik dan peraturan perundang-undangan, serta dilarang menggunakan kekerasan saat melaksanakan tugasnya.
Sanksi Satpol PP yang Lakukan Kekerasan
Menjawab pertanyaan Anda, Satpol PP yang menggunakan kekerasan saat menindak pelanggar PPKM bisa dikategorikan telah melakukan penganiayaan yang merupakan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 351 – 358 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Secara garis besar, penganiayaan dibedakan menjadi:
- Penganiayaan biasa (Pasal 351 ayat (1) KUHP);
- Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat (Pasal 351 ayat (2) KUHP);
- Penganiayaan yang mengakibatkan mati (Pasal 351 ayat (3) KUHP);
- Penganiayaan ringan (Pasal 352 KUHP);
- Penganiayaan dengan rencana (Pasal 353 KUHP);
- Penganiayaan berat (Pasal 354 KUHP).
Oleh karena itu, perbuatan petugas Satpol PP yang menganiaya pelanggar PPKM tidak dibenarkan oleh hukum, dan korban dapat melaporkan perbuatan tersebut ke pihak kepolisian untuk diproses secara hukum.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
- Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2018 tentang Satuan Polisi Pamong Praja;
- Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 2 tahun 2020 tentang Penanggulangan Corona Virus Disease 2019;
- Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Corona Virus Disease 2019;
- Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketenteraman Masyarakat Serta Pelindungan Masyarakat;
- Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 440/3929/SJ Tahun 2021 tentang Penertiban Pelaksanaan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat dan Percepatan Pemberian Vaksin bagi Masyarakat;
- Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 938 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Level 4 Corona Virus Disease 2019.
[1] Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemrintah Nomor 16 Tahun 2018 tentang Satuan Polisi Pamong Praja (“PP 16/2018”)
[2] Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketenteraman Masyarakat Serta Pelindungan Masyarakat (“Permendagri 26/2020”)
[3] Pasal 7 huruf a PP 16/2018
[4] Pasal 10 ayat (1) PP 16/2018
[5] Pasal 20 PP 16/2018
sumber : hukumonline.com
Posting Komentar