Terlebih lagi, karena menurut syiah, nikah mut’ah bukan hanya boleh dalam ajaran mereka, tapi ia merupakan bagian dari masalah agama yang paling penting. Demikian dinyatakan dalam riwayat yang ditulis Fathullah al Kasyani dari Ash-Shadiq: “Mut’ah adalah bagian dari agamaku, agama nenek moyangku. Barangsiapa yang mengamalkannya berarti ia mengamalkan agama kami. Barangsiapa yang mengingkarinya, berarti ia mengingkari agama kami, bahkan ia bisa dianggap beragama selain agama kami. Anak yang dilahirkan dari nikah mut’ah lebih utama daripada anak yang dilahirkan melalui istri yang tetap. Orang yang mengingkari nikah mut’ah adalah kafir dan murtad” (Al Kasyani, Fathullah, Minhajush Shodiqin)
Adapun menurut Al Qummi dalam kitabnya, “Man Laa Yahdhuruhu Al Faqih” (salah satu di antara empat kitab shahih syiah) menukil riwayat yang menyatakan: “Belum sempurna iman seseorang kalau dia belum melaksanakan mut’ah”(Al Qummi, Ibnu Babawaih, Man Laa Yadhurruhu al Faqih, hal.330.
Sedangkan Al Majlisi mengutip satu riwayat bahwasanya Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Barangsiapa yang melakukan mut’ah satu kali, maka bebaslah sepertiga tubuhnya dari api neraka. Barangsiapa yang melakukan mut’ah dua kali, maka bebaslah dua pertiga tubuhnya dari api neraka. Barangsiapa yang melakukan mut’ah tiga kali maka bebaslah seluruh tubuhnya dari api neraka Jahannam“ (Al Majlisi, Risalah Mut'ah, Ajalah Hasanah, hal.16). Riwayat ini menunjukkan tuduhan yang sangat keji kepada Rasulullah ﷺ yang dilakukan oleh Al Majlisi.
Bahkan, Khumaini sendiri diriwayatkan pernah melakukan mut’ah dengan anak kecil berusia empat tahun dan berfatwa:
“Tidak mengapa melakukan mut’ah dengan bayi yang masih disusui dengan pelukan, himpitan paha (meletakkan kemaluan di antara kedua paha bayi), dan ciuman”(Al Musawi, Said Husain, Mengapa Saya Keluar dari syiah, hal 47-48, Al Khumaini, Tahrir al Wasilah 2/242 no.12)
Bayangkan, betapa luar biasanya pintu jebakan yang satu ini bagi ummat Islam yang awam dan atau yang masih lemah keimanannya. Jika dalam Agama Islam, zina dipandang sebagai perbuatan keji (QS. Al Isra, 17:32) dan pelakunya diancam dengan hukuman yang sangat berat, dera seratus kali atau dirajam sampai mati. Sebaliknya, dalam ajaran syiah, nikah mut’ah yang tidak lain adalah zina malah diyakini sebagai bagian penting dari ibadah dan sekaligus jalan yang memudahkan seseorang untuk masuk surga.
Karenanya logis, jika kemudian tidak sedikit yang masih lemah imannya dan sangat dangkal pengetahuannya terhadap Islam memanfaatkan legalisasi seks bebas lewat ajaran syiah. Majalah Tempo memberitakan nasib sejumlah wanita yang terinfeksi penyakit kelamin akibat mut’ah (Majalah Tempo, 23 April 1994)
Aktifitas mut’ah juga terjadi di Sragen Jawa Tengah, sejumlah santri wanita yang masih berumur belasan tahun dinikah mut’ah oleh ustadznya yang merangkap pimpinan sekte Syiah (Suara Merdeka, 16 Mei 1995). Demikian pula, Kedaulatan Rakyat memberitakan korban nikah mut’ah: “Pengurus yang mengaku imam menodai sembilan gadis yang menjadi anggotanya yang kebanyakan masih di bawah umur” (Kedaulatan Rakyat, 14 Mei 1995)
Jika sekarang dunia dibingungkan dengan penyebaran penyakit kelamin terutama AIDS, maka pelaku nikah mut’ah termasuk menjadi korban terbesar penyakit ini di dunia. Di negara asalnya Iran, terdapat 250.000 anak tanpa ayah. Pada tahun 1990-an, warga negara syiah Iran yang terinfeksi virus AIDS di seluruh negeri sebanyak 5.000 orang”(Republika, 26 Juli 1994)
Harusnya ummat Islam seawam apa pun tidak patut terperangkap dalam jebakan seperti ini, andaikata masing-masing mau bertanya kepada dirinya sendiri: “Mungkinkah Allah menurunkan agama yang di antara ajarannya melegalisasikan zina dalam kemasan nikah seperti ini?”
Terkait dengan Nikah Mut’ah, MUI telah mengeluarkan Fatwa pada tanggal 25 Oktober 1997 (Fatwa-Fatwa Syiah Sesat, Aliansi Nasional Anti Syiah/ANNAS, Mei 2018 hal.31), dengan pertimbangan:
1. Bahwa nikah mut’ah akhir-akhir ini mulai banyak dilakukan oleh sementara ummat Islam Indonesia, terutama kalangan pemuda dan mahasiswa.
2. Bahwa praktek nikah mut’ah tersebut telah menimbulkan keprihatinan, kekhawatiran, dan keresahan bagi para orang tua, ulama, pendidik, tokoh masyarakat, dan ummat Islam Indonesia pada umumnya, serta dipandang sebagai alat propaganda paham syiah di Indonesia.
3. Bahwa mayoritas ummat Islam Indonesia adalah penganut faham Sunni (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) yang tidak mengakui dan menolak faham syiah secara umum dan ajarannya tentang nikah mut’ah secara khusus.
Atas pertimbangan tersebut di atas, MUI menetapkan fatwa:
1. Nikah mut’ah hukumnya adalah haram.
2. Pelaku nikah mut’ah harus dihadapkan ke pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
sumber : www.annasindonesia.com
Posting Komentar